Tiga Pintu Wilma Chrysanti Menuju Kota Tanpa Sampah

Wilma Chrysanti. Foto: Lusia Arumingtyas

Bicara sampah, bikin Wilma, merasa geram. Betapa tidak,  seakan sederhana tetapi penyelesaian kompleks,  dan terus jadi masalah klasik, meskipun dekat dengan keseharian.

Diapun bergerak lewat Studio Lab Tanya, unit biro konsultan arsitektur Adhi Wiswakarma Desantara  (AWD), berupaya mencari penyelesaian soal sampah ini.

Pada 2014, Lab Tanya, berinisiatif mendorong kegiatan penelitian dan perancangan arsitektur. Mereka mau mencari tahu jawaban dalam praktik dunia arsitek, mana relevan dan tidak dalam lingkup sosial dan lingkungan serta berupaya merespon masalah sekitar. Kota Tanpa Sampah pun jadi proyek Lab Tanya.

Ide Kota Tanpa Sampah terlintas di benak Wilma saat spanduk kemenangan di tempat tinggal barunya, Kluster Camar Pinguin Bintaro Jaya, terbentang. ”Menang juara II kebersihan, ketertiban dan keindahan se-Bintaro Jaya dan berhadiah uang tunai,” katanya antusias.

Sebagai warga baru, rasa penasaran muncul. “Kenapa ini bisa?” Wilma pun coba melihat sekitar dari pagi hari hingga sore hari. Ternyata, ada tukang sapu jalanan saat pagi dan siang hari dari developer Bintaro Jaya.

Selain itu, beberapa rumah memiliki tiang khusus atau paku yang tertancap di pohon mangga, atau jambu untuk menaruh sampah rumah tangga, sebelum diambil truk sampah.

Tanpa disadari, keberhasilan itu hanya memindahkan sampah ke tempat lain, sekitar 2,4 juta kilogram sampah dalam dua tahun. Persoalan sampah di perkotaan tak hanya bersih tetapi cukup kompleks. ”Mulailah saya bereksperimen dan riset dari ruang terdekat kita,” katanya.

Lab Tanya mulai menjaring anak muda, dengan residensi empat mahasiswa magang selama enam bulan untuk riset Kota Tanpa Sampah, sekitar dua tiga bulan. ”Kita diam-diam menimbang sampah yang digantung. Rata-rata tiga sampai lima kg pada tiga RT secara random sebagai sampel,” katanya.

Riset berlanjut mengikuti truk sampah ke tempat pembuangan akhir (TPA). ”Kami pun kepo ternyata TPA di Bintaro itu bukan di Rawa Kucing tapi di Cipeucang.” Alasanya TPA di Cipeucang hanya mampu menampung 18,75%.

Atas data itu, Kota Tanpa Sampah mau mengajak masyarakat sekitar. Tantangannya, pola sosial masyarakat di Camar Pinguin adalah rumah berjauhan dan bertembok tinggi.

”Rasa takut ditolak ada, karena saya warga baru,” katanya.

Tak disangka, sinyal positif datang dari Ketua RW08 dengan pendekatan komunitas yang disana, yakni komunitas Senam. ”Saya pendekatan, sampai akhirnya mendapat trust dan mengajak makan pagi di studio kami,” katanya.

Harapan cukup meleset, dari sekitar 25 orang, pagi itu hanya mampu mengajak lima orang.  “Kami coba memaparkan temuan lapangan dengan media video terkait sampah di masyarakat. Mereka kaget dan bilang lho gitu ya saya kok baru tau, bahwa sampah kita hanya berpindah ke TPA.”

Masyarakat antusias bereksperimen mengurangi sampah.

Percobaan awal, tantangan mengurangi sampah dengan waktu tujuh sampai 14 hari. ”Ternyata bisa mengurangi hingga 98% dengan data harian.”

Pada percobaan awal, penghargaan dengan membuat pameran di RW08 Camar Pinguin. Tak hanya masyarakat, pedagang dan tukang sapu diajak ambil bagian. Dari lima orang menginisiasi, berlipat jadi 35-40 orang.

Perlombaan antar RT pun dilakukan, dengan mengajak pemangku kepentingan dari Dinas Kebersihan Tangerang Selatan dan Bintaro Jaya dalam Hari Peduli Sampah Nasional.

 

Daerah ini salah satu wilayah Kota Tanpa Sampah. Foto: Lusia Arumingtyas

Hingga kini, Kota Tanpa Sampah mendapatkan perhatian sampai tingkat nasional (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan).

”Sekarang sudah ada 10%  dari 480 keluarga turut bergabung. Ini tantangan. Mungkin terus bertambang dengan informasi dari mulut ke mulut,” katanya.

Kota Tanpa Sampah pun jadi inisiatif warga. Masalah sampah bukan dengan bersih-bersih saja, seperti kerja bakti. Wilma pun tak menyangka saat masyarakat kelas menengah yang memiliki ekonomi cukup namun mau ‘direpotkan’ dengan masalah sampah.

”Banyak bertanya kok bisa ya? Kami hanya men-trigger masyarakat mengurangi sampah dari keunikan masing-masing di rumahnya.”

 Tiga pintu rumah

Seperti apa Kota Tanpa Sampah itu? Caranya, menerapkan strategi dari hal terdekat dengan analogi rumah. “Jika banyak yang mau menyelesaikan sampah di perkotaan, ini terlalu luas. Mulailah dari rumah.”

Strategi ini, katanya,  terbagi dalam pintu depan, tengah dan belakang.

Pintu depan,  tahap ini pra-konsumsi. ”Kita harus tahu dan sadar apa yang mau kita konsumsi sejak dalam pikiran. Jika itu menghasilkan sampah tak akan saya pilih,” katanya.

Dia contohkan, setiap arisan tak menggunakan air minum kemasan, membawa tumbler dan sebelum berbelanja mengetahui apa yang mau dibeli dan sudah ada tempatnya.

Pintu tengah, semua sisa barang tidak buru-buru dibuang ke tempat sampah, seperti, mengambil makanan tak berlebih hingga bikin sampah, kalau punya baju tak muat, donasikan.

Pintu belakang, katanya, bagaimana cara memilah sampah, misal, organik masuk ke komposter. Jika bisa daur ulang, ke pengepul. Untuk limbah B3,  baru ada tempat pembuangan sampah di pemerintahan, seperti KLHK dan Dinas Lingkungan Hidup provinsi.

Pelaksanaan ini,  tak terlepas peran perempuan. ”Perempuan paling memiliki kuasa, artinya memastikan rumah berfungsi benar, mengurusi di dalamnya.”

 

Memilah sampah dari rumah. Foto: Lusia Arumingtyas

 

Rasa peduli dan welas asih jadi semangat bagaimana seorang ibu mencari hal terbaik bagi keluarga. ”Jadi lebih luwes dan menularkan orang di rumah maupun sekitar hingga berlipat ganda,” katanya.

Dalam video Youtube Lab Tanya, Susanty,  warga RW 08 Camar Pinguin Bintaro, memberikan testimoni.

”Saya merasa ini saat tepat mendapatkan kehidupan lebih bersih dan sehat,” katanya. Bersama asisten rumah tangganya, dia mengklasifikasi tiga jenis sampah, ada untuk komposter, pengepul dan ke TPA.

Dia mengakui, tak mudah menghilangkan kebiasaan lama. Setelah mengikuti strategi tiga pintu itu, sehari, memproduksi sampah satu kg, 600 gram ke komposter, 300 gram TPA dan 100 gram ke pengepul.

”Saya sekarang berpikir setiap belanja bagaimana plastik dan kemasan tak mau saya bawa ke rumah.”

Wilma bilang, mengajak masyarakat susah-susah gampang, apalagi ada pemikiran jika itu jauh dari jangkauan bukan urusan mereka.

Kota Tanpa Sampah pun menciptakan pemikiran dengan mengajak masyarakat di TPA berbagi cerita.

Upaya ini tak hanya di Camar Pinguin, Wilma menyebarkan virus ke masyarakat di Karet Tengsin, Gandaria, Pondok Jaya, Komunitas Anak Ciliwung meliputi tiga kampung (Kampung Krapu, Tongkol dan Lodan).

Di Pondok Jaya, dia mencontohkan kepada pedagang makanan untuk mengubah kemasan dari steorofoam ke daun pisang. ”Pendampingan penting, rutin berkomunikasi.”

Inisiatif tak sampai disitu, mengurangi penggunaan kemasan lalu berpikir untuk bercocok tanam apa yang mereka konsumsi misal tanam cabai, pandan, bawang merah, bombay, oyong dan lain-lain.

”Bukan masalah hemat, tapi mengurangi kemasan tadi.”

Masyarakat yang ambil bagian juga diberi info soal produksi barang-barang untuk mengurangi kemasan, misal sabun mandi, detergen dan sabun cuci piring sendiri.

Bagi Kota Tanpa Sampah, yang jadi pekerjaan rumah adalah menjaga gerakan masyarakat tetap berkelanjutan dan mengubah paradigma.

SUMBER

Tinggalkan komentar