WAJAH Ade Mayara Ridwan (66) berbinar saat menjelaskan proses terbentuknya tanah sintentik di Kantor Perwakilan Pikiran Rakyat Tasikmalaya, Rabu, 11 Juli 2018. Dengan penuh semangat, warga Perumahan Bumi Resik Indah, Kecamatan Cipedes, Kota Tasikmalaya ini bercerita tentang inovasi terbarunya yang ia namakan teknologi terobosan untuk penanggulangan sampah dan banjir (TTSB).
Ade menceritakan, ide pembuatan tanah sintetik dari sampah organik ini bermula dari bau tak sedap yang timbul akibat tumpukan sampah dekat rumahnya. Mantan guru SMP itu kemudian mencoba bereksperimen untuk membuat sampah-sampah organik di sekitarnya bisa dimanfaatkan, agar tidak menimbulkan bau yang menusuk hidung.
“Saya betul-betul tidak kuat dengan bau sampah. Padahal sampahnya sudah jauh diangkut, tetapi masih saja bau. Saya berpikir bagaimana tumpukan sampah itu bisa habis, karena jika tidak habis, sampai kapanpun baunya tidak akan hilang,” tutur Ade mengawali ceritanya.
Ade mulai bereksperimen sejak 2009. Ide membuat tanah sintetik muncul saat ia melihat salah satu buah busuk. Warna buah tersebut, menurut Ade persis seperti tanah.
“Saya berpikir jangan-jangan ini buah bisa jadi tanah. Saya juga lihat lapukan-lapukan sampah organik warnanya senada dengan tanah, dari situ saya coba untuk bereksperimen,”lanjut Ade.
Eksperimen Ade, tidak berjalan mudah. Ade mengaku sempat menghentikan percobaanya lantaran tak punya banyak modal untuk melanjutkan penelitiannya. Selain itu, ia juga sempat jatuh sakit, sehingga sulit baginya untuk merampungkan eksperimennya.
“Pada 2013 saya masuk rumah sakit, tetapi sepulang dari rumah sakit saya ingat lagi eksperimen itu. Saya berupaya untuk melanjutkan dengan modal yang ada,” kata Ade.
Pengumpulan sampai pembusukan
Dari situ, ade kemudian mengumpulkan sampah-sampah organik di sekitarnya. Sampah organik terbanyak ia dapatkan di Pasar Cikurubuk Tasikmalaya.
“Sampah organik itu kemudian saya cacah-cacah, karena banyak harus pakai mesin pencacah. Waktu itu, saya beli di Bogor mesinnya. Saya tumbuk-tumbuk juga supaya hancur,” ucap Ade.
Sampah yang telah ditumbuk tersebut, kemudian melalui proses pembusukan. Ade sempat bereksperimen dengan membasahi sampah yang telah dicacah. Namun rupanya proses pembusukkanya justru memakan waktu lama.
“Ternyata lebih cepat jika dikeringkan, tetapi tidak kering sekali. Setelah kering, sampah itu kemudian digiling, lalu direbus, kemudian melalui proses fermentasi. Ternyata setelah difermentasi baunya persis seperti kotoran. Namun, setelah saya ambil cairannya, saya siram ke tanaman hasilnya bagus,” kata Ade.
Setelah mengambil sari dari sampah organik tersebut, Ade kemudian mengeringkan ampas sampah tersebut. Agar tidak bau, Ade kemudian menyiramkan desinfektan atau cairan kimia pembunuh hama. Menurut Ade, penggunaan cairan tersebut aman bagi tumbuhan, manusia, dan lingkungan.
“Ampas itu kemudian akan berubah menjadi tanah sintetik, agar masyarakat lebih mudah mengingatnya saya sebut tanah itu sebagai tanah organik. Ampasnya tinggal disempurnakan dengan dijemur, atau dimasukkan ke dalam ruangan yang panas, dan bisa dikemas seperti sak semen,” ucap Ade.
Penimbun banjir
Menurut Ade, kegunaan tanah sintetik tersebut utamanya bisa digunakan sebagai alat penimbun banjir. Tanah-tanah yang dibuat dari sampah organik bisa ditimbun ke lokasi banjir, kemudian ditimpa dengan alat berat seberat 18 ton. Namun demikian, pengerjaan dari penimbunan tanah tersebut harus dikerakan pada musim kemarau.
“Saya berharap pemerintah bisa menyadari teknologi ini, dan mengaplikasikannya. Memang untuk pemanfaatan sampah organik bisa dijadikan kompos, tetapi pemanfaatannya tidak secanggih ini. Bayangkan jika jutaan kubik sampah disulap menjadi tanah, selain sampah habis, banjir berkurang, pemerintah juga bisa menyerap tenaga kerja dari pengerjaan tanah organik ini,” harap Ade