Ancaman terbesar mangrove selain dialihfungsikan oleh manusia adalah sampah. Tumpukan sampah yang menutupi akar-akarnya membuat mangrove mudah mati.
Bahkan sampah kerap jadi alasan, pemicu alih fungsi lahan mangrove yang amat berguna dalam ekosistem dan persediaan oksigen ini. Karena banyak sampah, perairan kotor dan mending diurug. Demikian logika sesat pembangunan ini. Bukannya mencari solusi untuk penyebabnya dan perubahan perilaku.
“Sampah terjerat akar mangrove, tak bisa nafas, dan mangrove mati. Akibatnya tak ada ikan, bisa abrasi, sedimentasi,” ujar Hanggar Prasetio, tim Conservation International (CI) Indonesia yang memperkenalkan prototype Mangrove-Bin, sebuah alat penangkap sampah akhir April lalu di Jembrana, Bali.
Masalah ikutan lainnya, sampah dari hutan mangrove juga bisa ke laut. Dampak berikutnya sudah pasti, lautan dan isinya yang terkontaminasi sampah. Bagaimana cara agar sampah yang sudah kadung masuk lahan mangrove tak mencemari laut? Inilah pertanyaan yang hendak dicarikan jawabannya.
Sebuah benda berbentuk segi empat panjang mengambang di aliran sungai sekitar lahan mangrove di Bali Barat, dekat Balai Penelitian dan Observasi Laut (BPOL) di Perancak, Kabupaten Jembrana. Benda berukuran sekitar 4 meter persegi ini terlihat mencolok karena ruasnya berbentuk tabung dengan ujung dicat oranye, tapi terlihat kecil di aliran sungai menuju lautan lepas ini.
Mungkin tak cukup satu alat seperti ini yang akan kewalahan menangkap sampah. Apalagi ketika sebuah kasur terlihat berjalan pelan mengikuti jalur air menuju laut.
Rancang bangun Mangrove-Bin sedang diujicoba untuk memerangkap sampah, khususnya di lahan mangrove. Idenya, bagaimana sebuah alat bisa memerangkap sampah saat pasang dan surut. Jadilah alat ini memiliki semacam pintu yang bisa dibuka dan ditutup agar sampah tak lagi keluar setelah terperangkap.
Hanggar menyebut masih perlu banyak penyempurnaan setelah diujicoba oleh masyarakat sekitar yang diharapkan bisa menjaga dan merawat alat ini. Sejumlah masukan yang muncul dari warga di antaranya memberi tiang dari bambu di kedua sudutnya agar alat tak tenggelam atau hanyut. Kemudian memberi jaring di bawah agar mudah mengangkut sampah yang sudah terperangkap.
Sebagian bagian dari ujicoba, ditandatangani dalam berita acara kerjasama “Pelaksanaan dan Monitoring Sampah di Sungai Ijo Gading Melalui Prototipe Mangrove-Bin” antara CI Indonesia, BPOL dan Kelompok Masyarakat Peduli Sumber Daya Air (KMPSDA) Ijo Gading yang akan mengoperasikannya.
Abdul Karim, Ketua KMPSDA yang bermukim di sekitar tambah dan lahan mangrove mengatakan perlu ada modifikasi alat. Ia menyontohkan saat ini perlu saringan di bawah agar sampah mudah diangkat dari air. “Masih harus turun ambil sampahnya,” ujar pria ini.
Dampak pencemaran sampah dan limbah lain akibat pakan ternak sudah dirasakannya. Kualitas air buruk sehingga banyak ikan mati dalam tambak. Karim membuat sejumlah tambak yang sempat lama terhenti sebelum kini mulai diisi ikan lagi. Tambaknya berisi udang, ikan nila, dan mujair.
Menurutnya respon masyarakat sekitar belum begitu nampak karena baru diujicoba. “Sasarannya sampah rumah tangga. Bukan yang berat,” tambahnya.
Peningkatan sebaran mangrove di Perancak meningkat dari 29 hektar (2012) menjadi 79 hektar pada 2014. Saat ini disebut sudah sekitar 115 hektar. Salah satunya karena bakau tumbuh alami, setelah sejumlah tambak terbengkalai. Selama restorasi sebagian wilayah tambak jadi area mangrove.
Area mangrove sangat penting bagi kesehatan hewan yang dibudidayakan di tambak. Fungsi tambak sebagai filter limbah berkontribusi pada kualitas air yang digunakan sebagai baku pemeliharaan ikan. Ekosistem ini diharapkan meningkat kualitasnya sehingga lebih memberikan manfaat untuk warga sekitar. Selain mangrove terlihat ada jenis tanaman payau lain seperti nipah.
Kawasan hutan mangrove Perancak ini dibelah jalan raya dengan jembatan kuning yang menjadi spot favorit pengunjung. Di bawah jembatan adalah aliran sungai Ijo Gading yang membelah kawasan mangrove. Warga terlihat memancing di tengah sungai yang airnya setinggi bahu orang dewasa. Angin dan limpahan oksigen mengurnag terik matahari di pesisir Bali Barat ini.
Perancangan Mangrove-Bin dimulai Juli 2016 sampai April 2017. Bekerjasama dengan FabLabBdg melalui program CI, Millenium Innovative Lab. “Yang dikembangkan model pengumpul sampah. Dalam simulasi, sampah satu bungkus dilempar lalu bisa dikumpulkan saat surut,” jelas Hanggar. Tipikal sampah yang dibuang warga ke area mangrove adalah sudah terbungkus berisi limbah rumah tangga dan peternakan.
Pada akhir 2016 finalisasi model rancangan, lalu ujicoba. Hanggar yakin tanpa sampah, hutan mangrove makin berpotensi sekaligus menggugah agar tak buang sampah sembarangan. Misalnya ia mengobservasi di media sosial bagaimana ketertarikan warga berkunjung ke Perancak. Selama 6 bulan menelusuri via medsos, ia merangkum ada 1242 orang melihat mangrove, jadi sekitar 10-12 orang per hari ada yang foto-foto di kawasan ini.
“Silakan dikembangkan, mahasiswa atau pelajar bisa jadikan bahan penelitian,” ajak Hanggar mencoba melibatkan warga saat pengenalan alat ini.
Di sejumlah muara sungai ada model penangkap sampah sederhana dengan jaring. Diikatkan menghadang aliran air untuk menjerat sampah terutama plastik. Namun sampah keras seperti besi dan batang kayu dengan mudah merusak jaring. Sebuah alat khusus seperti prototype mangrove-bin ini memerlukan biaya lebih besar. Tantangannya, apakah warga tergerak mengembangkan, memanfaatkan, dan memeliharanya. Selain hal mendasar perubahan perilaku nyampah sembarangan.