Jakarta: Pemulung kerap mengabaikan sampah sachet. Pemulung lebih memilih kemasan berbentuk botol dan sebagainya.
Namun dalam waktu dekat sampah sachet akan berharga. Pemulung ke depan diharapkan juga memungut sampah sachet untuk didaur ulang.
“Para pemulung ngambilnya plastik yang konkret, yang rigid. Botol minum dan segala macam. Teman-teman bank sampah pasti tahu mana yang bisa dikilo. Tapi sachet enggak ada harganya,” kata CEO Greeneration Indonesia, Mochammad Bijaksana Junerosano dalam launching CreaSolv® Process di kawasan Bulungan, Jakarta Selatan, Rabu 17 Mei 2017.
Menurut Sano, sachet tidak laku lantaran tidak ada pihak yang berkeinginan atau sanggup mendaur ulang sampah sachet. Alhasil sachet berakhir di tempat pembuangan akhir dan dibakar.
Sano mengapresiasi Unilever yang menciptakan teknologi pengolahan sampah pertama yang mampu mendaur ulang plastik fleksibel atau sachet. Teknologi ini hasil kerja sama dengan Fraunhofer Institute di Jerman.
“Teknologi ini luar biasa. Namun teknologi ini tidak bisa berdiri sendiri. Teknologi ini harus didukung dengan tata kelola sampah,” ujar dia.
Sano mengatakan, 76 persen warga Indonesia tidak memilah-milah saat membuang sampah. Padahal kebiasaan memilah ini penting agar sampah yang berpotensi didaur ulang tidak hanyut ke lautan.
“Berdasarkan riset pada tahun 2015, kita ini negara nomor dua terbanyak yang membuang sampah ke lautan,” ungkap dia.
Sano meminta pemerintah tegas menegakkan aturan bagi siapapun memilah saat membuang sampah. Ini untuk mengurangi sampah berserakan tidak jelas.
“Kalau enggak begini, kita tidak akan beres-beres menyelesaikan permasalahan sampah,” ujar dia.
Sano dan tim pernah melakukan riset di Sungai Citarum pada 2014 selama satu bulan penuh. Pihaknya membentangkan sebuah jaring selebar sungai.
“Dalam waktu 8 jam saja, sampai terjaring 36 ton di Sungai Citarum ini,” ujar dia.
Sano sangat berharap partisipasi masyarakat untuk membiasakan memilah sampah. Ini demi kebaikan bersama.
“Sekali lagi tujuannya adalah supaya masyarakat sehat, supaya lingkungan lebih baik, supaya material bisa dipulihkan (didaur ulang),” tegas dia.
Governance and Corporate Affairs Director Unilever Indonesia Sancoyo Antarikso mengatakan pihaknya memerlukan skema pengumpulan sampah sachet terkait pemanfaatan teknologi CreaSolv® Process ini. Artinya Sancoyo ingin memberdayakan pemulung, masyarakat dan bank sampah.
Sancoyo berharap dengan kerja sama ini tidak hanya mengurangi jejak sampah di lingkungan, tapi juga menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih luas.
“CreaSolv® Process memungkinkan sachets untuk didaur ulang. Lebih dari 60 persen (material) sachets terbuat dari polietilena. Sehingga kami fokus mendaur ulang polietilena,” ujar dia.
Hasilnya adalah biji polietilena film atau lapisan plastik yang sepenuhnya dapat digunakan kembali. Kemudian residu film dapat digunakan kembali untuk untuk berbagai keperluan.
“Dengan demikian akan tercipta pendekatan ekonomi yang sirkular. Yakni limbah plastik akan menjadi bahan baku plastik lagi dan tidak berakhir di tempat pembuangan akhir atau lingkungan,” ucap dia.
Head of Circular Economy Unilever Anton Harjanto menambahkan bahwa sejauh ini pihaknya telah membuka pabrik percontohan di Jawa Timur. Pabrik ini untuk menguji efektifitas teknologi agar dapat digunakan dalam jangka panjang.
“Pada tahap awal, teknologi ini bisa beroperasi menyerap 3 ton sampah kemasan plastik fleksibel bersih perhari,” ujar dia.
Staf Ahli Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ilyas Asaad mengatakan komitmen pengembangan teknologi ini sejalan dengan ambisi pemerintah agar Indonesia bebas sampah pasa 2020. Ilyas mengimbau agar semua pihak saling bersinergi mewujudkan ambisi tersebut.