Mengkompos sampah demi lingkungan dan kesehatan

Jakarta menghasilkan sekitar 7.000 ton sampah per hari dan sebagian besar adalah sampah organik yang sebenarnya dapat diolah menjadi kompos.

Ibnu Najib -yang tinggal di sebuah apartemen di pusat kota Jakarta- memilih mengkompos sendiri sampah rumah tangganya dan mengaku mendapat berbagai manfaat.

Di apartemennya di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan, dia menyeduh air panas untuk jus jeruk dicampur madu untuk disajikan kepada saya dan jeruknya diambil dari pohon sendiri.

Walau tak punya halaman terbuka yang luas selain teras berbentuk L seluas kurang dari 10 m2, Najib bisa menanam berbagai tanaman, seperti seperti jeruk kietna, basil, cabai, bunga talang, tanaman palem, dan ceriman (Monstera).

Najib yang tidak memiliki latar belakang ilmu pertanian, mulai mengkompos sejak tiga tahun lalu setelah terinspirasi dari perjalanannya ke Jepang dan melihat sebuah bangunan perkantoran di tengah kota yang menanam padi.

compostingHak atas fotoIBNU NAJIB
Image captionBasil dan bunga talang hasil ‘kebun’ Najib.

Di apartemennya di Jakarta, dia menggunakan ember berukuran sekitar 10 liter untuk mengumpulkan semua biomassa atau sisa makanan serta daun kering yang bisa dijadikan kompos.

“Metode yang saya pakai sangat sederhana, hanya menggunakan dua ember, yang satu lebih besar dari yang lain. Ember yang lebih besar akan menjadi tutup untuk ember yang lebih kecil,” jelasnya mengenai bagaimana dia mengkompos sampah rumah tangganya.

“Ketika sudah agak banyak, akan dibalik. Untuk memastikan semua kompos terekspos ke udara dan tidak membusuk atau berjamur. Setelah itu dipindahkan ke ember lebih kecil untuk menjadi media tanam.”

“Ciri-ciri kompos yang sudah siap untuk menjadi media tanam adalah tidak lengket di tangan, seperti cokelat bubuk yang kasar tapi kering. Dan baunya sangat segar seperti tanah yang habis terkena hujan, tidak ada lagi bau busuk dan dingin,” lanjutnya.

Meski metode yang dipakai sederhana, Najib mengakui dia juga pernah gagal mengkompos namun setelah terus mencoba dan belajar dari kesalahan sebelumnya, dia akhirnya mulai mengerti ‘kunci’ membuat kompos.

compostingHak atas fotoBBC INDONESIA
Image captionKiri: Kompos yang sudah siap menjadi media tanam. Kanan: Biomassa yang sedang dikompos

“Beberapa hal yang harus kita perhatikan agar kompos itu sehat: kita harus menjaga keseimbangan antara karbon dan nitrogen. Kasarnya sih harus lebih banyak karbon dibanding nitrogen. Mungkin 70% karbon, 30% nitrogen,” paparnya.

“Nitrogen yang sifatnya hijau, seperti sayur, kulit buah. Dan karbon itu yang warnanya kebanyakan cokelat atau hitam, seperti ranting, daun kering, kopi.”

“Ketika keseimbangannya baik dan lembab, mungkin dalam lima bulan dia sudah siap menjadi tanah yang baunya segar seperti ini”, katanya sambil mengaduk-ngaduk tanah di sebuah pot.

“Dan untuk membuatnya lebih cepat (menjadi kompos) kita bisa menambahkan cacing ke dalamnya. Dengan syarat jangan memasukkan hal-hal yang asam, seperti kulit jeruk atau hal-hal yang ada garam dan minyak. Atau kita juga menggunakan kotoran binatang seperti kotoran sapi atau kambing.”

compostingHak atas fotoBBC INDONESIA
Image captionKompos yang sudah siap untuk menjadi media tanam: Tidak akan lengket di tangan; seperti cokelat bubuk yang kasar tapi kering; dan baunya sangat segar seperti tanah yang habis terkena hujan, tidak ada lagi bau busuk dan dingin, kata Ibnu Najib.

Namun, Najib tidak menyarankan menambahkan sisa daging ke dalam campuran biomasa.

“Saya tidak ingin mengundang bau yang akan mengundang lalat dan ketika lalat masuk maka proses kimiawi yang ada akan lebih kompleks dan lebih banyak hal yang tidak bisa kita kontrol.”

compostingHak atas fotoBBC INDONESIA
Image captionBiomassa yang dikompos diletakkan dalam ember.

Siang itu, hujan turun dan kami kembali ke ruang tamu. Kali ini Najib menyiapkan jus buah naga yang dicampur dengan beberapa buah yang dipetik dari balkonnya: jeruk kietna, daun basil, dan cabai merah.

Awalnya saya kaget karena dicampur cabai namun ternyata rasanya tetap segar tanpa membuat tenggorokan gatal karena menyeruput pedas.

Ditanyakan mengenai manfaat yang diperolehnya dengan mengkompos sampah rumah tangganya, dengan cepat dia menjawab, “Manfaat pertama adalah membuat teman senang,” sambil tertawa.

“Kalau saya membuat minuman, menjadi ‘atraksi’ yang menyenangkan untuk bahan mengobrol,” lanjutnya.

Bagaimanapun jelas buat Najib ada juga manfaatnya, walau mungkin belum bisa dibuktikan secara ilmiah.

“Ssaya merasa bahwa saya jadi lebih jarang sakit. Ini mungkin sedikit berlebihan karena saya tidak mencatat sendiri frekuensi sakit saya cuma saya mempunyai kesan bahwa flu menjadi lebih jarang ketika saya sudah mulai mengkonsumsi sayur dan tanaman yang saya tanam di sini, khususnya basil.”

“Saya rasa basil itu sangat bagus untuk mencegah flu.”

Walau tidak memaparkan bukti-bukti secara ilmiah, Najib mencoba menjelaskan manfaat kesehatan dengan mengkonsumsi tanaman-tanaman yang tumbuh dengan bantuan pupuk organik.

“Dan di sisi lain saya juga menemukan bahwa ketika tanaman itu sehat maka mikroorganisme mereka juga sehat dan karena tanaman itu lokasinya ada di rumah saya , mikroorganisme itu sudah terbiasa dengan tantangan yang ada di lingkungan ini.”

“Jadi ketika saya mengkonsumsi mereka, saya memasukkan ‘tentara’ yang akan membantu pencernaan di perut saya.”

Dia juga menjawab bahwa dia merasa lebih damai dengan hadirnya ‘yang hijau-hijau’ di rumahnya. Selain tentu saja, tanaman juga membuat udara lebih segar serta dapat menjadi elemen dekorasi rumah.

compostingHak atas fotoBBC INDONESIA
Image captionMenurut Najib, tanaman menciptakan rasa ‘damai’, membuat udara lebih segar serta dapat menjadi elemen dekorasi rumah.

Alat bantu kompos

Jika Anda ingin mengikuti langkah yang ditempuh Najib, ternyata ada wadah khusus yang tersedia untuk membantu proses pengkomposan, yang diprakarasai oleh Artomo, pendiri ‘Akademi Kompos’ yang berlokasi di Pesanggrahan, Jakarta Selatan.

Ketika saya datang ke akademi itu, dia menjelaskan tentang keranjang takakura dan tong komposter yang dapat dipakai untuk membantu pengkomposan.

Keranjang takakura didesain oleh Prof. Takakura dari Jepang, yang berbentuk seperti keranjang pakaian yang terbuat dari plastik organik.

“(Keranjang) bisa diletakkan di samping meja makan di dapur. Setiap makan buah, kulit buahnya dipotong-potong dan dimasukkan ke keranjang. Namun tidak boleh basah”, jelas Artomo.

Sedang tong komposter terlihat seperti tong sampah berwarna biru yang banyak disediakan dinas kebersihan kota di perumahan-perumahan.

“Cukup masukkan sampah dan setiap kali masukkan (juga) cairan bioactivator atau cairan yang keluar dari sini. Ada selang untuk mengeluarkan cairan disini,” katanya sambil menunjuk selang yang ada di dasar drum.

compostingHak atas fotoBBC INDONESIA
Image captionKeranjang takakura (paling kiri) dan drum komposter berwarna biru (tengah dan kanan).

Artomo menambahkan bahwa dengan drum komposter, sisa daging juga bisa dimasukkan dan tidak perlu perbandingan nitrogen atau karbon karena air fermentasi yang keluar dapat dipakai kembali sebagai bioactivator.

Kedua wadah ini menurut Artomo tidak akan menimbulkan bau dan gampang digunakan sehingga tidak ada alasan untuk tidak melakukannya.

compostingHak atas fotoBBC INDONESIA
Image captionArtomo, pendiri Akademi Kompos, berkata tidak ada alasan untuk tidak mengkompos.

“Di negara maju, mengkompos itu sudah kebutuhan, sudah tidak pakai mikir lagi, Tapi di kita, mindsetnya, sampah itu adalah sampah yang bau kotor, harus dibuang ke luar dari pekarangan kita. Entah dibuang ke mana, kalau perlu dibakar. Ini yang harus kita rubah,” kata Artomo.

Pulang dari Akademi Kompos, saya membawa ‘oleh-oleh’ satu drum komposter sambil meyakinkan diri sendiri, “Kalau Najib bisa melakukannya, saya yakin, saya dan Anda pun bisa.”

Karena mengkompos bukan hanya baik untuk lingkungan, namun juga kesehatan.

SUMBER

Tinggalkan komentar