Penemuan sampah 5,9 kilogram di perut paus sperma yang mati di perairan Wakatobi, Sulawesi Tenggara, beberapa waktu lalu, membuat kita sadar bahwa keberadaan sampah plastik sangat membahayakan lingkungan.
Karena itu, dalam Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah, pada 2025 pemerintah menargetkan sampah akan terkurangi sebesar 30 persen dan tertangani sebesar 70 persen.
Untuk mengupas apa saja yang akan menjadi perhatian dalam kebijakan ini, Koran Jakarta mewawancarai Dirjen Pengelolaan Limbah, Sampah, dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Rosa Vivien Ratnawati, di Jakarta, Senin (7/1). Berikut petikan wawancaranya.
Apa sebenarnya dasar kebijakan pengelolaan sampah plastik ini?
Dasarnya itu kondisi saat ini, misalnya sampah plastik di laut (marine plastics) saat ini sudah menjadi tantangan global, karena pertama, secara khas marine litter tidak memiliki wilayah teritori negara maupun wilayah administrasi daerah.
Kedua, dari sisi jumlah dan sebarannya cenderung meningkat terus secara signifikan dan tersebar dalam skala samudera. Meskipun belum ada data valid mengenai jumlah marine litter secara global, beberapa hasil riset mengungkapkan, antara lain: 80 persen marine litter berasal dari daratan (land-based source), 80 persen marine litter adalah plastik, dan 8,8 juta ton sampah plastik terbuang atau dibuang ke samudera setiap tahunnya.
Mengapa masih demikian tinggi?
Karena secara umum pola penanganan sampah di Indonesia hanya melalui tahapan paling sederhana, yaitu kumpul, angkut, dan buang. Selama puluhan tahun pola penanganan tersebut telah berlangsung dan terpateri menjadi kebijakan yang umum dilaksanakan pemerintah.
Pola pengelolaan sampah tersebut berjalan karena dilandasi oleh mindset bahwa sampah adalah sesuatu yang tidak berguna sehingga harus dibuang. Sehingga pendekatan yang dijalankan adalah pendekatan melalui penyelesaian di tempat pemrosesan akhir (end of pipe).
Tentang Peraturan Menteri yang sedang disiapkan?
Amanat utama pengelolaan sampah dalam UU No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah adalah mengubah paradigma pengelolaan sampah dari kumpul-angkut-buang menjadi pengurangan di sumber (reduce at source) dan daur ulang sumber daya (resources recycle).
Jumlah timbulan sampah secara nasional sebesar 175.000 ton per hari atau setara 64 juta ton per tahun jika menggunakan asumsi sampah yang dihasilkan setiap orang per hari sebesar 0,7 kilogram. Jumlah timbulan sampah rata-rata harian di kota metropolitan (jumlah penduduk >1 juta jiwa) dan kota besar (jumlah penduduk 500 ribu–1 juta jiwa) masing-masing adalah 1.300 ton dan 480 ton.
Arah kebijakannya?
Dengan memperhatikan kondisi eksisting dan fakta di lapangan yang dihadapi, maka arah kebijakan pengelolaan sampah ini difokuskan pada meningkatkan kinerja pengurangan dan penanganan sampah.
Kebijakan yang dinilai setengah matang?
Kalau di posisi nasional adalah kita lagi siapkan peraturan menteri tentang pembatasan penggunaan kantong plastik. Itu menjadi pedoman untuk daerah-daerah melaksanakannya.
Tapi kan seluruhnya untuk implementasi di lapangan itu kewenangan dari pemimpin daerahnya sendiri. Kita kan juga harus memperhatikan kondisi masyarakat juga apakah sudah siap, sosialisasinya seperti apa, perangkat kebijakannya dan sebagainya itu juga harus dilihat.
Untuk yang menolak kebijakan ini?
Sebenarnya kan kalimatnya adalah begini, ini kan karena target pengurangan sampah secara keseluruhan itu 30 persen. Artinya, kita mau mengurangi sampah yang mau dibuang ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Ya, orang kan punya beda pendapat kan ga pa-pa. Kan yang jelas bisa diajak bicara dan dicarikan solusinya seperti apa.