Meskipum setiap waktu terus menerus dikumandangkan oleh banyak pihak, namun kenyataannya belum semua masyarakat benar-benar memahami bahaya dan dampak buruk kebiasaan membuang sampah sembarang.
Apalagi ketika sampah itu berbahan dasar plastik. Dampaknya luar biasa bagi kelestarian bumi. “Dampak sampah plastik ini sangat luar biasa. Ketika dibuang ke tanah, akan mencemari lingkungan karena sulit terurai,” kata Penggagas dan Pengelola Rumah Pilah Sampah Gardu Action, Budianto.
Budi merupakan sosok yang sangat konsen di bidang kelestarian bumi. Ia mendirikan Gardu Action, sebagai wadah aktivasi dan edukasi masyarakat terkait bahaya sampah. Program yang dijalankan bersih sampah melalui sisir pantai hingga mengolah sampah menjadi kerajinan.
Budi menjelaskan, meskipun terbilang sepele, sampah plastik yang dibuang ke tanah sangat mungkin akan terbawa ke sungai. Akhirnya akan hanyut dan terbawa ke lautan.
Sampah plastik yang hanyut ke laut ini berbahaya karena akan menjadi mikroplastik. Mencemari laut bahkan bisa juga sampah plastik dikonsumsi oleh ikan. Kemudian ikan itu akan kembali dikonsumsi oleh manusia. Menjadi efek domino.
Bukan sebatas itu. Bahkan ketika dibakar, menurut Budi, sampah plastik akan mencemari udara. Kepulan asap dari plastik yang terbakar akan mengeluarkan toksin yang dampaknya 250 kali lipat lebih bahaya dari rokok. “Toksin ini akan tersebar lewat udara. Dan masyarakat akan terkena imbasnya,” terang dia.
Daya Paksa
Budianto menyebutkan Bumi sebagai tempat tinggal manusia saat ini sedang kritis karena dampak buruk dari sampah plastik. Ia berharap ada kesadaran dari masyarakat terkait persoalan serius dari dampak plastik. Menurut Budi seharusnya ada regulasi dari pemerintah yang nantinya bisa menjadi daya paksa kepada masyarakat supaya tidak menggunakan plastik atau setidaknya mengurangi penggunaan plastik.
Ia mencontohkan seperti kebijakan di Bali yang pada tahun 2019 ini mulai memberlakukan larangan penggunaan tas plastik dan sedotan plastik. “Saya pikir kebijakan ini sangat bagus dan bisa diadopsi oleh provinsi lain,” ujar dia.
Bahkan, bila memang itu belum bisa diterapkan, kata Budi mestinya setiap kabupaten atau setiap desa bisa mengeluarkan peraturan yang berbentuk Perdes ataupun Perbup yang mengatur tentang sampah. Sehingga ada tekanan hukuman kepada masyarakat yang membuang sampah sembarangan.
“Hukumannya tidak harus pidana, tapi bisa berupa sanksi sosial. Ini akan menjadi daya paksa kepada masyarakat untuk melakukan pengelolaan sampah secara mandiri,” tutur dia.
Sementara itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Bantul, Ari Budi Nugroho mengatakan meski belum sampai pada tahap pelarangan namun pihaknya sejauh ini sudah mencoba untuk mengurangi bahan-bahan yang terbuat dari plastik. Misalkan saja, ketika ada rapat di pemerintahan maka makanan dan minuman sebisa mungkin tidak dikemas menggunakan plastik.
“Bahkan bisa dikatakan setiap Minggu kita juga sudah melakukan edukasi dan sosialisasi maupun pelatihan. Baik diinisiasi oleh masyarakat di desa ataupun kelompok-kelompok. Kita sampaikan prinsip penanganan sampah dengan 3 R,” tutur dia. Tiga R yang dimaksudkan oleh Ari adalah Reduce [mengurangi], Reuse [menggunakan kembali] dan Recycle [mendaur ulang].
Baca Juga : Mesin-Mesin Pengolah Sampah plastik
Ia mengaku memahami betul bahwa penggunaan plastik sangat tidak ramah terhadap lingkungan. Namun DLH sendiri belum bisa mengeluarkan kebijakan sampai pada taraf pelarangan. Paling banter hanya sebatas imbauan untuk mengurangi. Misalkan saja, kata Ari, kalau masyarakat mau berbelanja lebih baik bisa membawa tas dari rumah.
Kemudian ketika memiliki anak dan membawa bekal ke sekolah maka lebih baik menggunakan wadah yang bisa dipakai berulang kali. “Cuman kan begini, kadang kita punya kebijakan itu tertinggal dengan kemajuan teknologi,” keluh dia.
Sebagai contoh, ia menjelaskan, misalnya sekarang kebiasaan masyarakat memesan makanan bukan lagi datang ke warung tetapi sudah memakai aplikasi.
Kata Ari, kebiasaan ini akan secara otomatis mengganggu kebijakan pengurangan sampah plastik. Karena layanan aplikasi antar makanan kebanyakan memakai kemasan semua. “Kadang-kadang kemajuan tekhnologi yang semakin cepat, kebijakan kita atau pola penanganan kita menjadi sangat tertinggal. Karena aplikasi, budaya makan nggak usah lagi ke warung. Tinggal pesan, diantar pake plastik, sterofoam, macem-macem. Ini yang kemudian menjadi masalah,” keluh dia.