Oleh: Dr. Hayu Prabowo *
Pemberitaan dunia terakhir terkait sampah plastik di Indonesia pada 20 November 2018 adalah ditemukannya bangkai Paus Sperma (Physeter macrocephalus) yang berukuran panjang ± 9,5 meter, dan lebar ± 437 cm yang mati terdampar di Pulau Kapota, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Dari dalam perut bangkai paus tersebut ditemukan sampah plastik seberat 5,9 kilogram yang isinya termasuk 115 gelas plastik, 25 tas plastik, empat botol plastik, dua sandal jepit. Paus sudah membusuk ketika tim penyelamat tiba, sehingga para penyelidik tidak dapat menentukan apakah plastik itu menyebabkan kematiannya.
Sampah plastik, merupakan salah satu masalah utama yang ada di perairan dunia, termasuk di laut, danau, dan sungai. Negara berkembang khususnya, sampah plastik ini merupakan salah satu permasalahan sangat sulit dikendalikan karena penggunaannya sangat banyak dan terus meningkat dimana sebagian besar dibuang sembarangan karena kurang adanya pengolahan limbah plastik. Sebagian dari sampah plastik tersebut berupa mikroplastik yang merupakan suatu bagian atau potongan dari plastik yang berukuran kurang dari 5 mm, dan memiliki resiko yang membahayakan bagi perairan.
Mikroplastik merupakan materi yang berasal dari berbagai sumber. Sumber pertama, primary microplastic, adalah microplastik yang sengaja “dibuat” untuk keperluan kosmetik, pembersih wajah, pasta gigi yang memiliki mekanisme sebagai “amplas” atau pembersih. Sumber kedua, secondary microplastic, adalah plastik berukuran besar yang terdegradasi menjadi serpihan – serpihan kecil baik akibat arus laut, atau proses alam lainnya. Mikroplastik tipe pertama inilah yang memiliki resiko lebih tinggi dan mudah terlepas ke perairan. Plastik di lautan akan cenderung terbawa arus di lautan dan terkumpul di convergen zone, area dimana plastik ini akan terkumpul dan tidak dapat terbawa ke tempat lain lagi.
Meikasari menyatakan bahwa secara umum, plastik dapat melepas beberapa bahan kimia seperti PCB’s, nonyphelols, bisphenol A, mapun phthalates. Plastik juga dapat menyerap beberapa polutan seperti PCB, DDT, dan DDE. Semua bahan tersebut merupakan bahan yang berbahaya bagi organisme perairan maupun manusia. Plastik yang terbakar pada suhu kurang dari 1.200 derajat Celcius dapat menyebabkan terlepasnya PCB, yang merupakan bahan karsinogenik (penyebab kanker). Mikroplastik juga dapat termakan oleh larva ikan atau biota yang berukuran lebih besar yang selanjutnya terakumulasi melalui rantai makanan dan berdampak pada spesies – spesies yang terdapat di dalamnya.
Jill Neimark melaporkan bahwa mikroplastik telah ditemukan dalam sampel kotoran manusia dari beberapa bagian dunia, menurut sebuah studi yang dilaporkan pada konferensi tahunan ke 26 Gastroenterologi di Wina. Penelitian ini dilakukan oleh para peneliti dari Universitas Kedokteran Wina dan Badan Lingkungan Austria, dengan melihat sampel tinja dari delapan orang di delapan negara yang berbeda: Finlandia, Italia, Jepang, Belanda, Polandia, Rusia, Inggris dan Austria. Setiap sampel tinja diuji positif hingga sembilan jenis plastik yang berbeda, dengan rata-rata 20 partikel plastik per 10 gram tinja. Chelsea Rochman seorang ahli ekologi dari Universitas Toronto mengatakan bahwa apa pun yang lebih kecil dari 150 mikron, dan terutama yang lebih kecil dari 50 mikron, dapat bermigrasi melalui dinding usus dan masuk ke sel-sel darah dan organ tubuh kita.
Tidak hanya potensi migrasi plastik di seluruh tubuh kita menjadi perhatian, tetapi aditif dalam plastik dapat membawa risiko kesehatan. Banyak aditif ini berpengaruh pada endokrin. Menurut Dr. Herbert Tilg, presiden dari Austrian Society of Gastroenterology dan ketua Komite Ilmiah UEG, mikroplastik mungkin bisa menjadi salah satu faktor yang berkontribusi terhadap sindrom radang usus atau bahkan kanker usus besar, yang sedang meningkat di kalangan orang dewasa muda.
Bagaimana manusia dapat mengkonsumsi mikroplastik ini? Sampel garam dari 21 negara di Eropa, Amerika Utara dan Selatan, Afrika, dan Asia dianalisis. Dari 39 merek garam yang diuji, 36 mengandung mikroplastik di dalamnya, menurut analisis baru oleh para peneliti di Korea Selatan dan Greenpeace Asia Timur. Dengan menggunakan penelitian garam sebelumnya, upaya baru ini merupakan upaya pertama untuk melihat penyebaran mikroplastik dalam garam makan dan korelasinya dengan lingkungan tempat pencemaran plastik ditemukan. Tiga merek yang tidak mengandung mikroplastik berasal dari Taiwan (garam laut olahan), Cina (garam batu halus), dan Perancis (garam laut tidak dimurnikan yang diproduksi oleh penguapan matahari). Studi ini diterbitkan bulan ini dalam jurnal Environmental Science & Technology. Temuan menunjukkan bahwa konsumsi mikroplastik oleh manusia melalui produk laut sangat terkait dengan pencemaran plastik di wilayah tertentu.
Kepadatan mikroplastik yang ditemukan dalam garam bervariasi secara dramatis di antara merek-merek yang berbeda, tetapi mereka yang berasal dari merek Asia sangat tinggi, demikian temuan studi tersebut. Jumlah mikroplastik tertinggi ditemukan dalam garam yang dijual di Indonesia. Asia adalah titik tertinggi polusi plastik, termasuk Indonesia yang memiliki 54.720 km garis pantai memiliki tingkat pencemaran plastik terburuk kedua di dunia.
Harus ada perubahan paradigma dari kalangan masyarakat dan dunia usaha untuk merubah gaya hidupnya yang ramah lingkungan, khususnya dalam penggunaan bahan-bahan yang merusak lingkungan. Karena berbagai kemaksiatan dan dosa-dosa manusia pasti akan kembali kepada kita semua sebagai peringatan bagi manusia, seperti firman Allah: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, (supaya Allah) agar mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” – QS. Ar Ruum:41.
–##–
* DR. Hayu Prabowo adalah Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Majelis Ulama Indonesia