
“Saya pernah loncat dari depan dermaga, yang saya temukan ikan nemo, terumbu karang masih bagus. Tahun 2015, yang ditemui sampah,” kata Switenia Puspa Lestari, pendiri Divers Clean Action (DCA).
Dia ingin menggambarkan, betapa hari makin hari, sampah plastik makin menggila. Kini, katanya, laut termasuk di Kepulauan Seribu, bak supermarket dalam air. Berbagai produk ada. dari televisi, plastik, aki, pakaian, dan banyak lagi.
Tania, sapaan akrabnya, pernah tinggal di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Jakarta, pada 2003 sampai 2007. Dia melihat langsung betapa sampah jadi masalah di sana.
Tak hanya di Kepulauan Seribu atau di Indonesia. Masalah sampah plastik di laut sudah jadi masalah global. Setiap tahun, lautan di dunia harus tangung beban sampah plastik sampai 12,7 juta ton. Indonesia menempati nomor dua dari daftar 20 negara paling banyak membuang sampah plastik ke laut.
Meski belum ada data valid secara global, beberapa hasil riset mengungkapkan 80% marine litter dari daratan, 80% marine litter adalah plastik. Sekitar 8,8 juta ton sampah plastik terbuang dan dibuang ke samudera setiap tahun.
Satu contoh sampah plastik di Kepulauan Seribu saja, sudah bikin nyeri. Berdasarkan penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu jadi tempat pembuangan sampah raksasa. Sebanyak 21 ton sampah per hari mengalir dari sungai-sungai di Jakarta, Tangerang, Bogor dan Bekasi.
Tiap sungai di Jakarta menyumbang satu ton sampah, Tangerang dan Bekasi, masing-masing 7-8 ton.
Berdasarkan hasil studi Kementerian Lingkungan Hidup 2008, di beberapa kota, pola pengelolaan sampah di Indonesia sebagai berikut, diangkut dan ditimbun di TPA (69%), dikubur (10%), kompos dan daur ulang (7%). Lalu, dibakar (5%), dibuang ke sungai (3%), sisanya tidak terkelola (7%).
Akbar Tahir, Guru Besar Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin Makassar mengatakan, 20% volume sampah di daratan akan berakhir di sungai dan lautan. Mayoritas sampah itu, katanya, plastik sekali pakai, seperti kantong, sedotan, gelas atau botol.
”Indonesia sudah darurat sampah plastik laut,” kata Muharram Atha Rasyadi, Jurukampanye Urban Greenpeace Indonesia. Dia desak, penanganan harus lebih serius.
Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, persoalan sampah plastik di laut terus jadi perhatian pemerintah. Salah satu, melalui Peraturan Presiden Nomor 83/2018 tentang Penanganan Sampah Laut. “Sampah di laut itu 80% dari darat, baru lainnya dari aktivitas laut.”

Greenpeace, kata Muharram, memberikan catatan kritis soal perpres ini, seperti, belum kuat melindungi laut dari ancaman sampah.Terutama, belum ada pasal tegas bagi produsen dalam upaya penanganan sampah.
“Tegas mendorong produsen mengubah kemasan agar dapat digunakan terus menerus atau diisi ulang. Bila kebijakan perusahaan dan pemerintah sebatas daur ulang dan gunakan plastik ramah lingkungan, target Indonesia mengurangi 70% sampah plastik di lautan pada 2025 sekadar angan-angan,” katanya.
Tahun 2018 , katanya, diperkirakan sampah mencapai 66,5 juta ton dan pada 2025, bisa 70,8 juta ton dengan perkiraan setiap orang menghasilkan 0,7 kilogram sampah per hari.
Oktober lalu, Greenpeace Indonesia pun menemukan 797 sampah plastik berbagai merek di tiga lokasi di Indonesia, yakni, Pantai Kuk Cituis (Tangerang), Pantai Pandansari (Yogyakarta) dan Pantai Mertasari (Bali).
Dari hasil audit merek, 797 sampah plastik, 594 merek makanan dan minuman, 90 merek perawatan tubuh, 86 merek kebutuhan rumah tangga dan 27 merek lain.
Produk dari Santos, P&G dan Wings, sebagai merek terbanyak di Pantai Tangerang. Lalu, Danone, Dettol, dan Unilever di Bali dan Indofood, Unilever dan Wings, juga banyak di Yogyakarta.
”Bahkan banyak kita menemukan cukup banyak sampah plastik sudah tidak terlihat mereknya, ini mengindikasi bahan sampah sudah lama terbuang, berada di lingkungan itu.”
Aksi warga
Kala musim penghujan awal 2008, banjir besar melanda Jakarta dan sekitar. Kepulauan Seribu pun jadi ‘rumah’ sampah-sampah dari Jakarta, Tangerang maupun Bekasi. Berton-ton sampah mampir ke pulau-pulau ini. Di Pulau Pramuka dan Pulau Panggang, sampah menyangkut di mangrove hingga pepohonan ini banyak mati.
“Sampah yang dibawa arus sangatlah banyak kala itu,” kata Mahariah, warga Pulau Pramuka. Sehari-hari dia guru SD sekaligus guru mengaji.
Ceritanya, perempuan 49 tahun ini pada 2003, terpilih jadi Ketua Sentra Penyuluhan Kehutanan Pedesaan. Tujuan SPKP, untuk pemulihan kualitas lingkungan, mencari mata pencaharian alternatif warga yang ramah dan edukasi lingkungan.
Kala itu, warga mulai sulit cari ikan. Hutan mangrove mulai berkurang. Merekapun berupaya mendorong ekonomi ramah lingkungan, melalui ekowisata dan budidaya perikanan.
Pada 2007, dia menggagas menanam kembali mangrove yang mulai menghilang di pesisir Pulau Pramuka.
Mangrove-mangrove inilah yang banyak mati karena jadi ‘rumah’ sampah pada 2008.
Dia mulai merasakan betapa sampah salah satu masalah besar dan harus ada penanganan.. Pada 2009, terbentuklah Komunitas Laut Bukan Tempat Sampah.
Pesan ini dia coba tularkan kepada anak-anak SD hingga SMA di Pulau Pramuka dan Pulau Panggang.
Mahariah bilang, sangat sulit menyadarkan para ibu-ibu soal sampah hingga anak jadi salah satu perantara penyambung lidah dengan orangtua.

Sekitar 40-60 anak dikumpulkan untuk bermain di pantai sambil memunguti sampah. Setelah terkumpul, sampah dipilah, kemudian jadi barang-barang bermanfaat.
Dia mulai meminta anak-anak yang mengaji kepadanya memilah sampah di rumah dan membawa ke tempat mengaji.
Sampah yang mereka bawa akan ditukar dengan tempat pensil atau tas mengaji dan lain-lain. ”Banyak juga orangtua yang malas, bilang daripada disuruh membawa sampah, sini saya bayar saja uang ngajinya.” Belajar ngaji dengan Mahariah, tidaklah dipungut biaya.
Tujuan dia memilah sampah di rumah sendiri guna mengurangi sampah menumpuk di tempat pembuangan sampah (TPS). Sampah terpilah, dia daur ulang sendiri menjadi beragam kerajinan.
Belakangan, komunitas ini punya Rumah Hijau. ”Sebelum ada Rumah Hijau, rumah saya seperti tempat sampah,” candanya.
Rumah Hijau dibangun guna meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kebersihan lingkungan dan tempat edukasi masyarakat agar ramah lingkungan serta ketahanan pangan.
Mahariah pun mencoba menampung beragam keluhan warga, seperti air tanah makin asin, harga sayur mahal dan masalah sampah.
Akhirnya, di Rumah Hijau ini dia membuat bibit mangrove selain mencegah abrasi juga menahan air laut agar tak masuk ke daratan. Di Rumah Hijau, pun didirikan bank sampah, membuat lubang biopori, rumah daur ulang, menanam sayur hidroponik, membuat ecobrick, dan penangkaran kelinci.
Anggota Rumah Hijau ini tanpa paksaan. Awalnya, hanya lima sampai enam orang saja, kini sudah sekitar 30-an orang. Anggotanya ini pun terdiri dari ibu-ibu Pulau Panggang dan Pulau Pramuka.
”Krisis lingkungan di Pulau Pramuka karena sampah terutama saat banjir di Jakarta,” katanya.
Tantangan saat ini, penyadaran kepada masyarakat, terutama Pulau Panggang yang kian tak peduli beban ekologis di sana.
Dia bilang, pernah suatu kali, saat KLBTS mengambil sampah di Pulau Panggang, ada masyarakat yang mengusir dan menolak sampah diambil.
”Itu sengaja mereka tumpuk, bakar, nanti menjadi fondasi rumah,” katanya.
Zeky, anggota Penanganan Prasarana Sarana Umum (PPSU) Pulau Panggang mengatakan, banyak warga masih tidak peduli sampah setiap rumah tangga. ”Mereka sering membuang sampah sembarangan, dan menganggap kan ada PPSU, pasti nanti diambil,” katanya.
Mahariah pun kini menyusun standar prosedur operasi soal penanganan sampah di pesisir dan memperjuangkan peraturan gubernur soal pengelolaan sampah di pesisir.
Dia ingin ada komitmen pemimpin dalam pengelolaan sampah tak berubah-ubah walau ada pergantian pemimpin. ”Kondisi kita sudah krisis.”
Tak hanya sampah kiriman, sampah-sampah produksi warga pulau juga banyak. Masyarakat pesisir juga jadi konsumen ‘setia’ produk-produk kemasan sekali pakai.
Harga terjangkau dan praktis, apalagi di pesisir masih sulit produksi mandiri.
Suku Dinas Lingkungan Hidup Kepulauan Seribu pun mengatakan, sampah yang dibersihkan dari Kepulauan Seribu mencapai 40 ton sehari.
Kekhawatiran Mahariah dan 30-an perempuan lain di Pulau Pramuka, sangat beralasan. Sampah jadi persoalan penting bagi masyarakat pesisir.
Kini mereka punya gerakan masyarakat #PulaukuNolSampah. Mereka bergerak mandiri mengelola sampah dari barang konsumsi sehari-hari. Mereka juga bergerak pada ekowisata dan edukasi.
Berdasarkan penelitian DCA, Kepulauan Seribu dekat dari Jakarta, telah terkena dampak gaya hidup praktis. Timbulan sampah per orang per hari rata-rata 0,45 kg.
Sampah terbanyak di Kepulauan Seribu adalah sampah organik, 49%, masyarakat bergantung pada plastik dalam kehidupan sehari-hari 21%.
Di Kepulauan Seribu, katanya, sulit mendapatkan air tawar bersih. Otomatis baik wisatawan maupun masyarakat di sana, masih banyak gunakan botol plastik.
”Proyeksi potensi sampah jenis polyethilene terepthalathe (PET) di Kepulauan Seribu, 11,1 ton per bulan.”
Tania mengatakan, dalam area kedalaman penyelaman 100 meter, bisa ada kemasan saset sekitar 500 buah. Jenis sampah beragam dari produk produsen di Indonesia maupun Filipina dan Jepang.
Di Bali, katanya, ditemukan produksi dari Australia. Sedangkan, Kalimantan ada produk dari Malaysia dan Filipina.
”Ini sebuah fakta, masalah sampah tak hanya di Indonesia, , tetapi perlu sinergi lintas negara dalam menanganinya.”

anggung jawab produsen rendah
“Bring back our bottles,.” “Tukarkan satu kemasan kosong, bonus 2 poin. “Gunakan poin untuk pembayaran. Satu poin Rp1.000.” Begitu informasi yang tertera di laman resmi Body Shop, produsen produk kecantikan yang membuka banyak outlet di Indonesia.
Body Shop, sejak lama menerapkan tanggung jawab produsen terhadap kemasan mereka. Konsumen, bisa mengembalikan kemasan Body Shop, dengan mendapat poin. Poin itu bisa bermanfaat untuk mendapatkan beragam produk baru mereka.
Sudah seharusnya, produsen memiliki tanggung jawab dalam penyelesaian sampah plastik yang mereka hasilkan. Sayangnya, praktik prosuden macam ini masih minim.
Pemerintah pun harus memiliki gigi kuat meminta tanggung jawab produsen, seperti tertuang dalam UU No 18/2008.
Sayangnya, peta jalan kebijakan tanggung jawab produsen (expended producer responsibility/EPR) belum wajib atau belum mandatori di Indonesia.
Rosa Vivien Ratnawati, Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Berbahaya Beracun (PSLB3), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menyebutkan, sampah plastik di laut jadi tantangan global.
Pertama, secara khas marine litter tak memiliki wilayah teritori negara maupun administrasi daerah. Kedua, dari sisi jumlah dan sebaran cenderung meningkat terus secara signifikan dan skala samudera.
Guna pencapaian target pengurangan dan penanganan sampah plastik ke laut sebesar 70% pada 2025, KLHK pun punya indikator pengurangan dan penanganan sampah.
Indikator pengurangan sampah terdiri dari, penurunan timbulan sampah per kapita, peningkatan jumlah sampah terpilah, terdaurulang, dan termanfaatkan kembali di sumber. Lalu, penurunan sampah terangkut ke tempat pemrosesan akhir (TPA).
Sedangkan, indikator penanganan sampah terdiri dari, peningkatan sampah terolah jadi bahan baku, peningkatan sampah termanfaatkan jadi sumber energi;, penurunan sampah terproses akhir di TPA.
Rosa bilang, KLHK sedang penyusunan norma, pedoman, standar dan kriteria (NPSK) dan peraturan. ”Kita sedang susun rancangan Permen LHK tentang peta jalan pengurangan sampah oleh produsen,” katanya. Langkah ini, tercantum dalam sustainable development goals (SDGs) soal responsible production and consumption.
”Ini langkah perubahan perilaku produksi plastik oleh produsen dan perilaku konsumsi plastik oleh konsumen,” katanya.
SUMBER