Sampah dan Masa Depan Bangsa

Sampah seringkali dimaknai sebagai sesuatu yang sudah tidak berguna dan tidak diinginkan lagi. Sampah dianggap tidak diperlukan dan mengganggu kehidupan seseorang. Maka jika masyarakat memiliki sampah, yang ada dipikirannya waktu itu adalah membuangnya secepat mungkin. Sampah tidak hanya mengganggu secara estetika karena merusak pemandangan dan keindahan, tetapi juga menimbulkan gangguan lainnya seperti menjadi tempat perindukan serangga, tikus dan binatang lainnya. Sampah juga berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan akibat karbon monoksida dan gas metan yang dihasilkan dari proses penguraiannya. Selain itu sampah juga mencemari lingkungan akibat lindi (cairan sampah) yang dikeluarkannya dan sulitnya sampah plastik terurai. Jika kita melihat pada satu sisi, maka sampah adalah tantangan tetapi jika kita melihat pada sisi yang lain maka sampah adalah peluang.
Sampah sebagai tantangan berarti banyak hal. Pertama, produksi sampah yang bertambah setiap tahunnya. Sebagaimana populasi penduduk yang terus meningkat setiap tahunnya baik akibat kelahiran maupun migrasi. Maka jumlah timbulan sampah selalu naik setiap tahun berbanding dengan jumlah penduduk. Kedua, masyarakat masih membuang sampah di sembarang tempat. Sebagaimana kita tahu bahwa jalanan, sungai, pantai hingga pinggiran rumah menjadi tempat sampah umum bagi masyarakat. Baik yang menggunakan sepeda ontel hingga pengguna mobil mewah harga ratusan juta. Ketiga, fasilitas tempat sampah dan pengangkutan. Terbatasnya tempat sampah publik dengan kondisi yang baik di area publik hingga anggaran untuk operasional pengangkutan sampah dari TPS ke TPA. Keempat, sampah yang belum terpilah. Bercampurnya sampah seringkali dianggap hal yang lumrah bagi masyarakat. Padahal sampah yang bercampur ini mempersulit pengelolaan sampah dan mengakibatkan berlipatnya kebutuhan energi untuk mengelola sampah. Kelima, lahan TPA (Tempat Pembuangan Akhir) terbatas. Samarinda masih menerapkan sistem open dumping (penumpukan sampah di area terbuka) sebagai metode untuk pengelolaan TPA. Sistem ini memerlukan lahan yang luas dan merupakan pilihan yang juga menimbulkan cemaran udara, air dan tanah.
Tetapi jika kita memperhatikan pada sisi lain, maka sampah sebagai peluang dapat berarti berbeda. Pertama, sampah sebagai pemasukan tambahan. Sampah plastik dan anorganik lainnya telah dimanfaatkan oleh saudara-saudara kita pemulung sebagai sumber penghasilan. Yaitu dengan memilahnya dan menjualnya kembali. Hal ini telah dilakukan dengan memilah sampah secara langsung di TPA. Yang mengakibatkan pemulung beresiko untuk tercemar gas buangan hasil dari dekomposisi sampah oleh bakteri. Selain itu sampah organik juga dapat dimanfaatkan untuk dibuat sebagai pupuk organik, hal ini juga telah banyak diterapkan. Beberapa bank sampah juga telah berhasil menerapkan metode yang menarik agar masyarakat mau memilah sampahnya dengan sukarela dan gembira. Sebagai contoh, bank sampah di Malang telah mampu mengonversi usaha pemilahan sampah menjadi rekening (e-cash) untuk pembelian voucher listrik, membayar SPP sekolah dan berobat ke dokter. Setiap kilogram sampah yang dibawa ke bank sampah akan berubah menjadi nominal uang yang dapat digunakan untuk berbelanja barang dan jasa. Selain itu bank sampah ini menjadi media untuk mengelola sampah menjadi barang yang lebih bernilai ekonomis dan dijual dalam bentuk sampah terpilah. Kedua, sampah sebagai sumber energi. Sampah menjadi sumber listrik, di negara seperti Swedia sampah telah mampu menjadi bahan baku untuk pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa). Dan Swedia adalah negara yang sukses dalam mengelola sampahnya menjadi listrik. Penulis juga berkesempatan untuk mengunjungi PLTSa di Honolulu, Hawaii. Di sana, PLTSa ini telah mampu menyuplai enam persen dari kebutuhan listrik di pulau Oahu. Dibandingkan pembangkit listrik teknologi energi terbarukan, PLTSa ini menjadi yang paling berhasil di Honolulu. Maka tak ada salahnya kita bermimpi untuk menerapkan hal yang sama di provinsi kita tercinta ini.
Lebaran tahun lalu, Samarinda menjadi topik utama di media sosial maupun cetak karena sampah yang tak terangkut di TPS. Berdasarkan data DKP kota Samarinda juga diketahui bahwa masih ada sampah yang belum terangkut ke TPA. Memang jumlah sampah yang dihasilkan penduduk Samarinda terus meningkat setiap tahunnya. Lalu apa yang perlu kita lakukan?
Pertama, masyarakat bersama dengan LSM perlu mengampanyekan pemilahan sampah. Sampah yang terpilah dengan baik akan memudahkan proses pengolahan sampah pada tahap yang selanjutnya. Sampah organik dapat diubah menjadi pupuk secara kolektif maupun individu dengan pelatihan di komunitas-komunitas masyarakat.
Kedua, pemerintah perlu menyiapkan teknologi tepat guna dan manajemen yang baik dalam pengelolaan sampah. Sampah yang telah terpilah memerlukan TPS yang terpilah. Memerlukan TPA yang mempunyai teknologi yang mampu mengelola sampah. Memerlukan jejaring untuk menjual sampah terpilah. Untuk ini pemerintah dapat berkolaborasi dengan LSM dan komunitas di dibidang bank sampah dan kewirausahaan serta komunitas ilmuwan. Dapat bekerja sama dengan pemerintah negara lain untuk investasi dan kolaborasi.
Apakah ini hanya mimpi? Pada awalnya iya. Tetapi ini adalah mimpi yang sangat mungkin untuk diwujudkan. Dengan kerja keras, visi yang jelas, kolaborasi dan kordinasi. Maka sangat mungkin untuk mewujudkan mimpi-mimpi ini. Tak ada lagi orang yang membuang sampah di jalan lewat kaca mobilnya atau melempar sampah ke sungai. Karena masyarakat sadar bahwa sampah bernilai ekonomis secara nyata. Tak ada lagi yang berpikir bahwa sampah adalah sesuatu yang tak berguna. Karena hal yang buruk dan dianggap tak ada artinya jika diperlakukan dengan metode yang tepat akan menjadi sesuatu yang berguna dan bermanfaat. Maka tak akan ada lagi yang berpikir bahwa kita bangsa kecil, karena sampah saja dapat diubah menjadi benda yang bermanfaat. Apalagi negara yang berlimpah potensi seperti Indonesia ini.

SUMBER

Tinggalkan komentar