Kampung Proklim Bulakan Asri Kini Menuju Desa Mandiri, Seperti Apa?

Seorang warga Dusun Bulakan, Desa Langgongsari, Kecamatan Cilongok, Banyumas, Jawa Tengah, Khotibul, tampak sibuk menyisihkan sampah anorganik. Dia mengumpulkan plastik-plastik sisa yang cukup banyak, karena ia memiliki warung. Sampah-sampah anorganik itu sengaja dikumpulkan, karena ada yang mengelolanya.

“Saya sengaja memisahkan sampah anorganik dan organik. Sebab, sampah-sampah di Dusun Bulakan ini ada yang mengurus. Sampah yang anorganik akan digunakan kembali dan sebagian dijual kepada pengepul. Untuk sampah organiknya juga diproses menjadi pupuk, bahkan biogas,”katanya.

Khatibul mengakui agak repot sedikit pada saat melakukan pemilahan sampah anorganik dan organik. “Memang mengawali itu sesuatu hal yang susah. Namun, jika telah terbiasa sepertinya tidak repot. Apalagi, kalau kita mengumpulkan sampah, ada imbalan dalam bentuk tabungan. Yang mengurus adalah pengurus Proklim Bulakan Asri di Dusun Bulakan ini. Sampai sekarang, saya juga memiliki tabungan sekitar Rp150 ribu dari sampah. Lumayan, hanya memilah sampah dari rumah. Lingkungan bersih malah mendapatkan tabungan,”ungkapnya.

Tak berapa lama, Mukofa dibantu dua warga menjemput sampah di warung milik Khotibul. Sampah sampah-sampah itu kemudian dibawa gudang tempat bank sampah yang lokasinya terletak di belakang rumah Mukofa yang ditunjuk sebagai Koordinator Bank Sampah Proklim Bulakan Asri. “Kami memiliki bank sampah untuk menyimpan sampah-sampah anorganik, terutama plastik. Untuk sampah anorganik, sebagian kami jual kepada pengepul plastik yang nantinya didaur ulang. Sedangkan untuk bekas ember atau berbagai jenis kaleng, kami manfaatkan kembali untuk pos sayuran,”jelas Mukofa.

Bank sampah yang dikelola oleh Kampung Proklim Bulakan Asri, Cilongok, Banyumas, Jateng. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

Bagi warga yang mengumpulkan sampah anorganik, pengurus Kampung Proklim memberikan imbalan uang yang masuk tabungan. “Nilainya memang belum terlalu besar, tetapi paling tidak memberikan motivasi bagi warga untuk terus menyadari bahwa sampah harus dikelola. Sampah yang kami peroleh tidak hanya dari warga, melainkan juga dari Pondok Pesantren (Ponpes) Nurul Huda yang berada di Dusun Bulakan, Desa Langgongsari. Potensi sampahnya cukup banyak, karena santrinya mencapai seribuan. Nah, sampah-sampah anorganik dari warga dihitung beratnya, kemudian kami akan menghitung perolehannya. Biasanya, tabungan akan diberikan menjelang Lebaran. Pada tahun lalu, sebelum Lebaran, meski Proklim Bulakan Asri baru berjalan beberapa bulan, tapi tabungan warga dari sampah bisa diambil. Masih kecil, antara Rp50 ribu hingga Rp150 ribu per keluarga. Itu tergantung volume sampahnya,”katanya.

Sedangkan untuk sampah organik yang berupa sisa-sisa makanan, sayuran, buah busuk dan lainnya diproses menjadi biogas serta pupuk cair. “Kampung Proklim Bukalan Asri mendapat dukungan melalui dana CSR dari perusahaan Astra Grup. Salah satunya adalah bantuan biomethagreen yakni peralatan pemrosesan berbagai bahan organik menjadi biogas. Kapasitas biomethagreen di sini masih kecil, hanya untuk dua kompor. Namun, dapat menjadi barang bukti bahwa sampah organik bisa diubah menjadi biogas yang bermanfaat,”ujarnya.

Mukofa mengatakan bahan baku pembuatan biogas adalah sampah organik. Misalnya sisa makanan, sayuran, buah-buahan dan lainnya. Prosesnya cukup mudah. Bahan tersebut masuk ke dalam tabung biomethagreen yang merupakan digester. Selanjutkanya alat itu mengubah sampah organik menjadi biogas. “Api dari kompor biogas berwarna biru. Ada dua kompor yang mendapat pasokan biogas. Dengan adanya biogas, maka menghemat pemakaian elpiji 3 kg. Kalau tanpa biogas, konsumsi elpiji 3 kg mencapai 4 tabung setiap bulan. Namun, setelah adanya biogas, paling hanya 1 tabung. Kalau diuangkan, saya dapat menghemat sekitar Rp54 ribu per bulan. Sangat lumayan,”katanya.

kompor dari biogas di kampung proklim. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

Selain itu, lanjut Mukofa, sampah organik juga diproses menjadi pupuk cair. Diakui kalau produksinya masih sedikit karena sepekan baru satu liter. Sedangkan yang padat digunakan untuk media tanam.

Sementara Koordinator Kampung Proklim Dusun Bulakan Asri, Taufiqurrahman, mengatakan program Kampung Bulakan Asri tercatat pada Sistem Registri Nasional (SRN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2017. Kebetulan, Kampung Proklim Bulakan Asri juga mendapat bantuan dana CSR dari Astra Grup, sehingga dananya dapat untuk mengembangkan berbagai macam kegiatan. “Salah satunya adalah pemanfaatan pekarangan masing-masing warga. Dari 206 rumah di Dusun Bulakan, setengahnya telah memanfaatkan pekarangannya. Mereka menanam berbagai macam sayuran. Benihnya dari kami, gratis. Sayuran yang ditanam di antaranya adalah cabai, caisim, terong, tomat dan lainnya. Pemanfaatan pekarangan ini sekaligus sebagai upaya ketahanan pangan,”katanya.

Sebelum pekarangan dimanfaatkan, warga hanya menelantarkan saja, sehingga tidak menghasilkan. Kalau sekarang, setiap jengkal tanah ditanami sayuran dengan menggunakan polybag atau pot dari ember bekas, kaleng bekas wadah roti dan lainnya. “Semuanya dimanfaatkan, sehingga bagi warga yang menanam sayuran tidak perlu lagi membeli. Sebagai contoh cabai rawit yang merupakan kebutuhan sehari-hari warga. Beragam sayuran yang ditanam lebih sehat, sebab tidak disemprot pestisida dan pupuknya organik ,”ujarnya.

Dengan memanfaatkan pekarangan, ternyata juga mampu mendatangkan pendapatan. “Saya pribadi memiliki pekarangan yang tidak luas. Tetapi, setelah dimanfaatkan ternyata menghasilkan. Selain sayur-sayuran, saya mencoba usaha pembibitan macam-macam buah. Seperti durian, jambu, mangga dan lainnya. Lumayan, setiap bulannya menghasilkan Rp1,5 juta,”ungkap Taufiq panggilan akrab Taufiqurrahman.

Bulak Barokah adalah agrowisata yang terletak di Desa Langgongsari, Cilongok, Banyumas. Dulunya, kawasan itu ditumbuhi semak belukar, kini menjadi kebun durian dan lokasi pengembangan peternakan desa. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

Dalam perkembangannya, ternyata Desa Langgongsari itu memiliki potensi terpendam. Pada saat pengembangan pekarangan berjalan, ternyata hampir di setiap kebun milik warga ada tanaman kopi. Namun, selama ini kopi hanya sebagai pohon perdu saja, tidak dimanfaatkan kopinya. “Dulunya, saya juga tidak terlalu memperhatikan, baru setelah ada program pemanfaatan pekarangan, ternyata sebagian besar warga yang memiliki pekarangan dan kebun, memiliki pohon kopi,”ujarnya.

Warga sebetulnya juga tahu, kalau mereka memiliki pohon kopi. Tetapi, karena harganya rendah, maka pohon kopi ditelantarkan. Sementara ini, satu pohon kopi paling hanya menghasilkan 1 kilogram (kg) atau jauh di bawah rata-rata pohon kopi yang telah dipelihara, karena dapat memproduksi 4-5 kg. “Harga kopinya juga murah, hanya Rp17 ribu per kg. Itulah mengapa, warga agak malas untuk memetiknya,”ungkapnya.

Para pengurus Kampung Proklim Bulakan Asri kemudian berinisiatif untuk mulai melakukan pemetaan dan pendataan. Ternyata, jumlah pohon kopi di Desa Langgongsari yang memiliki luas 416 hektare (ha) tersebut cukup banyak, bisa mencapai puluhan ribu batang pohon. Hanya memang, warga perlu diedukasi untuk mulai melakukan pembudidayaan secara intensif dengan memelihara pohon kopi secara serius.

“Salah satu upaya yang kami lakukan adalah dengan memproduksi kopi kemasan. Kami membeli kopi dari warga Langgongsari dengan harga lumayan. Jika sebelumnya harga kopi hanya Rp17 ribu, maka kini jauh lebih tinggi. Dari pemetaan yang kami lakukan, ternyata di Langgongsari ada dua jenis kopi yakni robusta dan liberica. Nah, untuk “greenbean” robusta kami beli dengan harga Rp25 ribu hingga Rp40 ribu, tergantung kualitasnya. Sedangkan untuk liberica, kami membeli Rp45 ribu. Warga kaget, karena ternyata harga kopi bisa tinggi. Inilah yang membuat mereka bersemangat,”ungkapnya.

Menurut Taufiq, pihaknya telah memproduksi dan memasarkan dua produk kopi dari Langgongsari. Nama kopinya adalah “Kopi Iklim”, karena produksi Kampung Proklim. “Kami telah meluncurkan produk perdananya pada 13 Desember lalu. Kami mengemas per 200 gram. Untuk robusta, harganya Rp50 ribu per bungkus dan liberica Rp60 ribu per bungkus. Produksi awal baru 100 bungkus, karena bahan bakunya terbatas. Selain itu, kami masih “roasting” di Purwokerto, karena belum memiliki peralatan. Mudah-mudahan ke depan, kami mempunyai alat “roasting” sehingga bisa memproduksi secara mandiri,”katanya.

Kampung Proklim Bulakan Asri, Desa Langgongsari, Cilongok memproduksi Kopi Iklim yang berasal dari pohon kopi di desa setempat. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

Tahun 2019, tambah Taufiq, Kampung Proklim akan terus berbenah menuju kampung mandiri dengan memberdayakan potensi lokal tanpa merusak lingkungan. “Kami akan berusaha menjadikan kampung ini mandiri di mana warga memiliki kekuatan secara ekonomi dengan memberdayakan potensi sumberdaya lokal. Tentu saja sebagai Kampung Proklim, lingkungan harus terus dijaga,”tegasnya.

Pemberdayaan masyarakat berbasis sumberdaya lokal itu juga telah dilaksanakan oleh Pemerintah Desa (Pemdes) Langgongsari. Kepala Desa (Kades) Langgongsari Rasim mengatakan kalau tahun 2015, ketika pertama kali dana desa digulirkan, pemerintah desa setempat membelanjakan sebagian besar dananya untuk pembelian pohon. “Pada awal dana desa bergulir, kami memperoleh dana Rp300 juta. Setengah di antaranya untuk membeli bibit pohon durian. Kami membagi-bagikannya kepada seluruh warga yang ada di Langgongsari. Supaya mereka menyiapkan pekarangannya untuk ditanami pohon durian. Sisa dana desa untuk pembangunan infrastruktur. Kami juga memanfaatkan lahan tidak terawat milik warga menjadi agrowisata,”kata dia.

Kemudian, lanjut Rasim, pada tahun-tahun berikutnya dana desa yang digulirkan untuk memberdayakan masyarakat berbasis sumberdaya lokal. “Tahun 2016, dengan dana desa Rp600 juta, 90% untuk membangun tempat pengolahan gula merah serta pengadaan bibit durian lagi. Pada 2017, kami mengalokasikan 80% dari dana desa senilai Rp922 juta untuk pengembangan agrowisata yang telah dimulai sejak beberapa tahun sebelumnya. Pada November 2017, agrowisata yang kemudian diberi nama Bulak Barokah dibuka. Bahkan kini, durian yang ditanam sejak empat tahun lalu sudah mulai berbuah. Panen perdana diperkirakan pada pekan awal Januari 2019,”ujarnya.

Di Bulak Barokah, kini ada 400 batang pohon durian. Sedangkan di seluruh desa, ada sekitar 4.000 batang, 3.000 di antaranya merupakan bibit gratis dari desa. Di lokasi setempat, pihak desa juga memelihara sapi, kelinci, kambing dan lainnya. “Kami di sini membangun sebuah agrowisata, sehingga pengunjung yang datang tidak hanya menikmati segarnya udara dan suasana di sini, melainkan bisa membeli buah atau produk desa sini seperti gula merah,”tambahnya.

SUMBER

Tinggalkan komentar